Breaking News

Rabu, 27 November 2013

Memahami Jokowi dengan kaca mata Servant-Leadership

http://smpitcendekia.com/wp/?p=68
Kolam ikan dan ladang untuk praktek di SMP ISLAM CENDEKIA CIANJUR (SICC)


Dermawan Wibisono
Jokowi tiba-tiba menyeruak di antara kejenuhan politik dan kerinduan akan datangnya satrio piningit yang dinanti sejak 1998. Publik bertanya-tanya terhadap gaya kepemimpinanya. Apakah ini faktor kebetulan atau ketidaksengajaan yang dia temukan saat memimpin kota Solo, yang diteruskan ke Jakarta. Ataukah ini implementasi dari pengendapan pengalaman masa kecil sampai saat mahasiswa, yang berangkat dari serba kekurangan dan dapat dia refleksikan saat menjadi pemimpin (kacang yang tak lupa pada asal-usulnya). Atau justru inilah representasi teori kepemimpinan baru yang mulai populer di dunia akademis saat ini, servant-leadership.
Walaupun tergolong baru di jagad perkuliahan, servant-leadership, sebenarnya dimulai spiritnya sejak jaman Rasulullah. Prinsip melayani dari seorang pemimpin, sudah diciptakan oleh Rasul pada tahun 500 an Masehi. Sudah 1.500 tahun yang lalu. Namun prinsip servant-leadership ini kemudian terkubur dengan timbulnya dinansti-dinasti kerajaan Romawi, Perancis, Belanda Inggris, Jepang, Jawa, Sulawesi, Kalimantan, Sumatera, dan hampir seluruh dunia, yang mengenal pemimpin mereka adalah raja. Jadi mulai saat itu, keadaan berbalik. Raja adalah orang yang harus dilayani, bukan lagi yang harus melayani. Oleh perkembangan ilmu manajemen, kemudian timbullah apa yang dinamakan servant-leadership oleh Robert K. Greenleaf pada tahun 1960 an. Terminology servant- leadership diperkenalkannya pada tahun 1970 dalam publikasinya yang berjudul The Servant as Leader.  Dia mendefinisikan the servant-leader sebagai is servant first…it begins with natural feeling that ones wants to serve, to serve first. Then conscious choice brings one to aspire to lead. That person is sharply different from who is leader first, perhap because of the need the assuage an unusual power drive or to acquire material possessions….The leader-first and the servant first are two extreme types. Between them there are shadings and blends that are part of infinite variaety of human nature.

Jadi mengamati perlikaku dan gaya kepemimpinan Jokowi, ini tampaknya adalah praktik rill jaman sekarang tentang servant–leadership yang selama ini hanya dipahami sebatas konsep, teori dan contoh-contoh abtract yang ada di dunia. Dilihat dari gaya bicaranya yang tak formal yang tak membuat jarak antara masyarakat dan dirinya, pakaian yang ‘asal nempel’ (tak harus model safari yang banyak kantongnya-yang dulu amat populer, sehingga orang menyindir bahwa harus banyak kantongnya untuk menaruh upeti dari yang dikunjunginya), gaya non protokoler yang blusak-blusuk ke tempat permasalahan timbul – seperti dicontohkan oleh Khalifah Umar yang harus memanggul beras di waktu malam ketika mengetahui salah satu rakyatnya kelaparan, tidak silau oleh kenyamanan dengan inspeksi menggunakan mobil mewah seperti biasa dilakukan para pemerhati dan pengamat-menuliskan penderitaan rakyat dari balik hotel bintang lima, dan sebagainya.

Servant leadership fokus utamanya pada pertumbuhan dan kesejahteraan masyarakat dan komunitas di mana dia berada. Sedangkan traditional-leadership biasanya melibatkan pada akumulasi dan penggunaan kekuatan oleh seseorang pemegang kekuasaaan pada puncak piramid. Servant- leadership sangat berbeda dalam konsep dan pelaksanaanya di lapangan, karena titik beratnya lebih pada sharing kekuasaan dan kekuatan bukan mengkooptasinya dan memusatkan pada dirinya semata. Meletakkan kepentingan orang lain sebagai prioritas pertama dan keinginan untuk membantu orang untuk mengembangkan dan berkinerja setinggi mungkin.

Stephen Covey menyatakan bahwa servant- leadership akan tumbuh lebih cepat dari periode sebelumnya, dan salah satu cara yang bisa anda lakukan adalah dengan memberdayakan orang yang anda pimpin. Berbeda dengan jenis leadership yang lain, yang mulai dengan mengendalikan atau merangkai kekuasaan, servant- leadership pertama, bekerja dengan membangun foundation atau dasar-dasarnya dengan mendengarkan dengan lebih seksama suara masyarakat untuk mengetahui kebutuhan dan konsern orang lain. Oleh karena itu tidak heran Jokowi sampai mengadakan pertemuan lebih dari 50 kali sebelum memindahkan pedagang kaki lima di Solo dan mengadakan pertemuan lebih dari 30 kali sebelum memindahkan pedagang Tanah Abang, yang sebelumnya meruapakan kekuatan non formal, sehingga dianggap mitos mampu membenahi kesemrawutan yang sudah turun temurun. Kedua, servant-leadership bekerja dengan penuh pengertian untuk membantu  membangun konsensus dalam masyarakat. Fokus dari servant- leadership adalah sharing informasi, membangun visi bersama, self manajemen, ketidaktergantungan pada tingkat yang lebih tinggi, belajar dari kesalahan, encouraging input kreatif dari tiap anggota organisasi atau masyarakat dan selalu bertanya terhadap asumsi yang diambil.

Lebih lanjut, menurut Larry Spears, servant-leadership  adalah menyediakan framework di mana orang akan saling membantu untuk meningkatkan dan memperbaiki tatanan serta bagaimana kita memperlakukan mereka. Servant-leadership merupakan harapan baru dan panduan terkini untuk pengembangan manusia dalam era baru untuk menghasilkan organisasi yang lebih peduli dan lebih baik. Pada akhirnyadimilikinya spirit dari servant-leadership di level individu, organisasi maupun masyarakat lah yang akan membentuk harapan lebih baik bagi masa depan kemanusiaan.

Menurut Ken Keith, CEO dari the Greenleaf Center for Servant Leadership di Asia, servant-leadership adalah etical, practical dan meaningful. Disebut etical karena menyangkut tentang pelayanan kepada sesama bukan pemanfaatan atau ekspoitasi terhadap manusia lain.  Practical karena menyangkut aspek praktis yang dapat diterapkan dalam mengidentifikasi dan menemukan kebutuhan orang, pelanggan atau masyarakat. Meaningful karena servant-leadership membantu kolega, organisasi atau masyarakat untuk tumbuh, memperkaya pelayanan mereka terhadap pihak lain dan berkontribusi pada penciptaan nilai tambah bukan yang pada jangka panjang merupakan representatif terhadap kepedulian untuk mencapai kemakmuran dan dunia yang sustainable.

Jadi kembali kepada pertanyaan di paragraf awal, dapat ditarik hipothesis bahwa gaya, model, cara kerja, sistem yang dilakukan oleh Jokowi saat ini adalah perpaduan antara pengalaman masa lalunya sebagai orang di pihak kurang beruntung dan penerapan model kepemimpinan servant-leadership, yang sudah diwariskan sejak jaman Rasul, namun sebagian dari kita hanya menyadarinya sebatas bacaan saja, tanpa pernah menerapkanya dalam kehidupan riil. Jika hypothesis ini benar, maka akan sulit bagi pihak lain untuk menirunya. Karena banyak orang yang memiliki pengalaman pahit sejak masa kecil, namun tidak pandai menarik pelajaran darinya. Bahkan seringkali orang sukses yang berangkat dari masa susah, justru ingin mengubur masa lalunya sedalam-dalamnya. Atau justru menarik keuntungan sebanyak-banyaknya, agar sanak keturunannya tidak mengalami pengalaman sepahit yang dia rasakan. Apalagi orang sukses yang berangkat dari keluarga sukses sebelumnya.

Biasanya tidak ada ‘penjiwaan’ yang tulus terhadap penderitaan yang tak pernah dirasakannya. Saya memiliki seorang senior yang dengan jujur pernah berkata kepada saya, dan selalu saya ingat kalimat beliau:†..Terus terang, jujur saya katakan, saya tidak pernah merasakan susah, tidak tahu rasanya orang susah, dan tidak tahu bagaimana pedihnya tidak punya uang, karena pengalaman saya sejak kecil tidak pernah berkaitan dengan hal tersebut.†Sebuah pengakuan yang jujur dan benar, bagi banyak pemimpin yang ada di Indonesia saat ini.

Akan halnya hypothesis kedua, bahwa penerapan servant-leadership ala Jokowi, bukanlah semata-mata copy paste terhadap sebuah metodology akademis ke alam praktis. Ini perlu penerapan dengan hati dan perlu ‘bakat’ besar dan dalam untuk berlaku sebagai servant-leader. Karena servant-leadership hampir mengubah segalanya, sejak dari positioning yang diambil sampai tahap implementasi menyeluruh. Telunjuk tangan tak lagi aktif, suruh sana, suruh sini. Membuka lebar-lebar telinga terhadap suara masyarakat. Tidak mendahulukan, apa yang saya terima dari aktivitas ini, sehingga Jokowi tidak mengambil gaji agar mentalnya tak teracuni dengan aspek finansial semata, dan menempatkan dirinya duduk sama rendah berdiri sama tinggi dengan masyarakat, dengan misalnya tidak lagi membuka open house, di mana masyarakat sungkem dan pejabat serta pengusaha setor muka kepadanya.

Sebagai penutup, bergembiralah para pengajar sekolah bisnis dan manajemen, bahwa kini tak lagi terpaksa memberi contoh abstrak atas teori yang dipelajari, tapi semuanya nyata di depan mata. Inilah titik tolak dan contoh dari proses penerapan servant-leadership yang masih akan terpajang setidaknya sampai tahun 2014. Bahkan mungkin akan makin banyak contoh dan aktor lain akan berperilaku serupa. Setidaknya, masyarakat akan makin beruntung dengan timbulnya fenomena ini dan optimisme masyarakat menuju negara ke 4 terbesar di dunia pada tahun 2025 makin menggelora.
Penulis saat ini sedang menjadi visiting professor di Universiti Utara Malaysia
Profesor SBM-ITB

2 komentar:

Designed By Blogger Templates